Minggu, 22 Februari 2015

Chinatown Journey

Tanggal merah atau hari libur pasti banyak dinanti-nanti oleh setiap orang dan biasanya menjadi kesempatan untuk bangun siang hehehe. Tapi saya harus bangun pagi-pagi sekali. Yups, hari itu tanggal 19 Februari 2015 adalah Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa.
Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Sejarah tanggal perayaan atau mitos dan sejarah tahun baru Imlek di Indonesia tidak usah saya sebutkan lagi, karna sudah banyak yang membahas dan beredar di ‘Mbah’ Google yang bisa kita search hehehee.

Balik ke awal lagi kenapa saya harus bangun pagi-pagi adalah karena saya akan mengikuti Jakarta Heritage Trails “Chinatown Journey” yang diadakan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI). Jam 05.15 diiringi hujan rintik-rintik dan lagu yang mengalun dari hp, saya berangkat menuju blok M untuk naek Busway Trans Jakarta ke Kota Tua. Meeting point acara di Taman Fatahillah jam 07.00, dan ketika saya sampai jam 06.30 masih sepi tetapi panitia acara sudah berkumpul, mungkin karena hujan yang turun dari semalam jadi peserta banyak yang masih nyaman di tempat tidur hehehehee. Saat registrasi saya mendapatkan pin, buku panduan tour serta pita untuk pembagian kelompok.


Tujuan dari Heritage Trail ini adalah sebagai sarana edukasi dan wisata sejarah bagi masyarakat dikarenakan jejak masa lampau Jakarta sulit dilacak keberadaannya. Melalui beberapa situs sejarah yang lolos dari “kebiadaban” masa kini lah masa lampau itu dapat terungkap. Salah satu ciri khas yang umum terdapat di setiap sejarah suatu kota adalah terdapatnya pemukiman Tionghoa atau biasa disebut Pecinan (China Town) di kota itu. Kawasan Pecinan, dalam sejarahnya selalu menjadi penopang sekaligus jantung yang menggerakan detak perekonomian. Tak heran, jika Pecinan terdapat hampir di berbagai kota besar di Dunia, termasuk Jakarta. Kini, etnis Tionghoa telah menjadi ciri sekaligus jiwa yang mewarnai sejarah kebudayaan dari kota ini. Daerah China Town atau Pecinan yang meliputi Glodok, Pasar Pagi, Pancoran, merupakan daerah yang mayoritas di huni oleh masyarakat keturunan etnis Cina.

Akhirnya jam 08.00 acara dimulai, molor satu jam menunggu peserta datang, kami para peserta berkerumun di tengah halaman taman Fatahillah ditemani oleh rintik-rintik hujan mendengarkan penjelasan tentang sejarah kawasan kota tua yang dipandu oleh pendiri KHI, Asep Kambali. 

Kota Tua Jakarta yang juga terkenal dengan sebutan Batavia lama. Di karenakan lokasinya yang strategis dan sumber daya yang melimpah pada abad ke-16 oleh pelayar Eropa Batavia dijuluki Permata Asia dan Ratu dari Timur. Batavia juga dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia. Kawasan Batavia dirancang hampir mirip dengan kota Amsterdam. 

Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah terletak di pusat kawasan Kota Tua. Bangunan ini dulunya merupakan Balai Kota Batavia yang didirikan pada tahun 1707 dan diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai Museum sejarah Jakarta pada tahun 1974 setelah melewati berbagai macam sejarah pemanfaatan dan perubahan bentuk gedung. Ditengah halaman taman Fatahillah terdapat air mancur. Air mancur ini ditemukan lengkap dengan pipa-pipa dan pondasi setelah melakukan penggalian berdasarkan lukisan uang oleh pegawai VOC. Konon katanya ini adalah satu-satunya sumber mata air untuk masyarakat setempat yang dialiri dari Pancoran Glodok.
Museum Seni Rupa dan Keramik terletak di sebelah timur  Museum Fatahillah. Museum tersebut memiliki delapan tiang besar sebagai penyangganya. Gedung museum dibangun pada tahun 1870, awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia. Sebelum resmi digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik pada tahun 1990, gedung ini pernah menjadi tempat tentara KNIL, asrama militer TNI dan Kantor Walikota Jakarta Barat. 

Museum Wayang terletak di sebelah barat dari Museum Fatahillah. Bangunan ini awalnya adalah Gereja Lama Belanda yang didirikan pada 1640. Setelah diperbaiki pada tahun 1732 berganti nama menjadi Gereja Baru Belanda. Pada tahun 1808 gereja hancur akibat gempa bumi. Walau kini sudah dipugar dan diresmikan pada tahun 1975 masih terlihat beberapa bagian dari gereja lama dan baru.


Cafe Batavia merupakan salah satu tempat yang nyaman untuk kita beristirahat. Cafe Batavia yang terletak tepat di depan Museum Fatahillah. Cafe Batavia berdiri pada tahun 1993, Bangunan ini dulunya adalah kantor administrasi VOC, lalu dibeli oleh orang perancis dan menjadikannya sebuah galeri seni, dan akhirnya dibeli lagi oleh orang Australia dan merubahnya menjadi sebuah cafĂ© yang dibuka untuk umum pada tahun 1993. Terletak di dalam sebuah bangunan tua bernuansa kolonial Belanda serta bangunannya yang unik dan antik begitu menarik perhatian pengunjung untuk datang dan kembali. 

Selain tempat bersejarah di sekitar Taman Fatahillah terdapat juga tempat-bersejarah lain yang tidak dilewati oleh tour ini yaitu jembatan tarik Kota Intan, Galangan VOC, Menara Syahbandar, Museum Bahari, Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Masjid Luar Batang.

Setelah selesai menjelaskan kawasan sekitar Taman Fatahillah peserta berfoto bersama terlebih dahulu di depan Museum Sejarah, tentunya masih diiringi rintik-rintik hujan. Setelah berfoto peserta dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan warna pita yang didapatkan, dan saya kebagian kelompok dua (pita putih). Kelompok pertama jalan terlebih dahulu. Pemandu kami Mas Duta juga didampingi oleh Mas Agung menjelaskan tentang meriam Si Jaguar, walau bentuknya agak porno hehehee, dengan bentuk tangan kanan menggenggam dengan ibu jari terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, tapi bentuk meriam ini mempunyai arti yang dalam yaitu merupakan simbol dari kesuburan, kejayaan, dan kekuatan. Sekaligus juga untuk mengejek Belanda yang saat itu adalah musuh Portugis. Konon dulu katanya juga sering jadi tempat orang “meminta” dan menaruh sesajen.

Lalu kami beranjak dari Si Jaguar menuju ke Monumen Jalur Trem. Dulunya diawali dengan trem kuda, lalu diganti menjadi Trem Uap pada tahun 1881 yang lebih banyak memuat penumpang dan memiliki rute yang lebih panjang. Namun tergusur oleh Trem Listrik dan perkembangan bus –bus dan angkutan kendaraan.


Setelah itu kami beranjak menuju ke Kali Besar atau The Groote Kanaal, melewati jalan pintu besar yang dahulunya adalah kuburan. Kawasan kali besar atau Ciliwung pada abad ke-20 adalah kawasan yang ramai tempat berlalu-lalangnya kapal-kapal perusahaan Belanda setelah kali diluruskan . Kali Besar merupakan saksi bisu kekejaman pemerintah Belanda dalam peristiwa pembantaian orang-orang Cina atau Chineezenmoord. Pembantaian terjadi karena dipicu adanya pemberontakan oleh orang-orang etnis Tionghoa. Awalnya dikarenakan pajak yang diberikan terlalu berat, imigran yang masuk lebih banyak sehingga memicu masalah sosial, sehingga muncul kebijakan memindahkan sebagian imigran ke Srilangka. Tapi menurut isu mereka dibuang ditengah laut, sehingga memicu pemberontakan oleh para pekerja di Industri dan perkebunan. Efek dari pemberontakan itu pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan perkampungan Tionghoa ke pusat perdagangan dan hanya memperbolehkan mereka menjadi pedagang. Disini juga terdapat bangunan Toko Merah, Gedung tua sebagai saksi kejayaan Batavia lama di tepian Muara Ciliwung. Bangunan tersebut pernah menjadi tempat tinggal Gubernur Jenderal. Waktu kami sedang tour, terdapat bapak-bapak yang sedang membersihkan kali dan membersihkan aliran dari sumbatan-sumbatan sampah menggunakan peralatan sangat sederhana yaitu dengan rakit dari untaian bambu yang dirangkai jadi satu serta bambu panjang untuk menyerok sampah. Masih ada juga yang menggantungkan jemuran baju di besi-besi pinggiran kali. Sangat mengganggu pemandangan. Kapan pemerintah kita bisa bertindak tegas yaaa…??!!!


Masih Banyak gedung di sekitar kawasan Kota Tua yang kami lewati, ntah itu milik pemerintah/Swasta/Pribadi yang kondisi bangunannya tidak terawat atau bahkan dibiarkan begitu saja. Padahal gedung-gedung bernilai sejarah tinggi. Dari Kali Besar menuju pintu kecil dimana merupakan gerbang benteng kota Batavia. Jika sisa bangunan gerbang itu masih ada, lokasinya ada di dekat pertemuan Jalan Cengkeh dan Jalan Tongkol. Oleh pemerintah Indonesia gerbang dihancurkan karena mengganggu kelancaran lalulintas. Sangat disayangkan, tetapi untungnya masih ada yang sempat mendokumentasikan foto yang sangat berharga untuk bisa kita lihat seperti apa wujud gerbang tersebut. Semoga saja nanti akan dibuat replikanya dengan diwujudkannya Kota Tua sebagai World Heritage Site. Aminnnn..

Perjalanan dilanjutkan melewati kawasan pasar pagi lama Asemka, tempat barang-barang dagangan dijual dengan harga murah. Lalu melewati jalan bersejarah yaitu Patekoan. Selama menyusuri jalan ini hujan kembali turun rintik-rintik. Asal muasal nama jalan ini adalah dikarekan pada saat itu terdapat pedagang Cina yang diangkat oleh Gubernur Batavia menjadi Kapitan Cina menggantikan Kapitan sebelumnya yang mengundurkan diri. Didepan rumah mereka sering dijadikan tempat berteduh pedagang keliling atau pejalan yang kelelahan, sehingga istri sang Kapitan yang mempunyai jiwa sosial tinggi meminta suaminya untuk menyediakan 8 teko teh setiap hari untuk mereka yang berteduh. Patekoan berasal dari kata Pa Tek Wan yang artinya delapan buah teko/poci ini, dan sampai sekarangpun masih disebut patekoan untuk mengingat kebaikan pasangan suami istri ini walaupun sudah berganti nama menjadi jalan Perniagaan. Masih terdapat beberapa bangunan rumah berarsitektur Cina diantara bangunan modern, bentuk rumah dengan pagar tinggi menjulang keatas, ditambah atap rumah yang berbentuk runcing dikedua sudutnya yang menyerupai seperti tanduk kerbau.


Lalu sampailah kami di rumah keluarga Souw, orang terkaya di Batavia dan sampai saat ini selalu menjadi rumah tinggal secara turun temurun. Ia juga dikenal berjiwa sosial terhadap masyarakat sekitar, ia mendirikan sekolah bagi anak bumiputera di tanah miliknya, menyantuni orang miskin, serta menyumbang makanan dan bahan bangunan ketika terjadi kebakaran. Lalu disini juga kami melakukan foto bersama group dua ^.^


Selesai berfoto kami menuju SMA 19 yang tidak jauh jaraknya dari rumah keluarga Souw. Gedung ini populer dengan sebutan cap-kau yang artinya sembilan belas. Di gedung ini tempat organisasi pertama Tionghoa di Batavia maupun Hindia Belanda berkumpul. Disini juga didirikan sekolah modern pertama untuk merespon ketidakpedulian pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan anak Tionghoa. Disini tidak mengenal tingkatan kelas dan umur, para murid berasal dari warga Tionghoa dan pribumi kaya. Karena pesatnya perkembangan sekolah ini membuat pemerintah Hindia Belanda membuat sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa. Pada zaman Orde Baru sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ditutup dan gedung diambil alih oleh pemerintah. 

Group kami beristirahat sejenak disini sambil menanti group terakhir juga menunggu kedatangan Mystery Guest. Dan akhirnya tamu yang dinanti datang, dan tamunya adalalah…. Bapak Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI saat ini Yeayyyy… Bapak Anies datang beserta rombongan juga terdapat anak beliau yang ganteng dengan baju khas Cina. Pak Anies mengatakan bahwa belajar sejarah dan menciptakan sejarah itu penting, sejarah harus membangkitkan kesadaran kolektif identitas budaya, bahasa, hukum dan perundang-undangan. Kita juga harus bergerak cepat menjaga warisan sejarah, kalau ada masalah cepat dilaporkan. Setelah sesi tanya jawab selesai peserta berkesempatan berfoto bersama dengan Bapak Menteri. Kalau kata Kang Asep Kambali, siapa yang tidak mau di foto maka dia tidak mau dicatat dalam sejarah, hmmmm betul juga sihh hahahahhaaa… Dikesempatan ini juga jadi ajang foto selfie sebagian peserta dengan Bapak Menteri, termasuk saya yang tidak mau ketinggalan untuk foto bersama hahahaaa..


Oke, setelah berfoto ria dengan Bapak Menteri group dua melanjutkan kembali perjalanan tour. Kali ini menjelajahi Jalan Pertokoan Tiga menuju Kelenteng Toa Se Bio, kelenteng tertua di Jakarta. Setelah melalui jalan atau gang kecil sampailah kami di kelenteng. Klenteng ini dibangun mula-mula oleh orang Hokkian yang dipersembahkan untuk dewata khas daerah tersebut. Di kelenteng ini terdapat Hio-louw atau tempat menancapkan dupa yang berangka 1751 yang berada di ruang altar utama, tertua kedua setelah meja sembahyang di kelenteng Kim Tek Ie (Dharma Bakti/Jin De Juan) yang berangka 1724.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke Gereja Santa De Fatima yang tidak jauh dari kelenteng Toa Se Bio. Bangunan gereja Katolik ini hampir mirip atau bahkan sama dengan bangunan kelenteng. Dahulunya bangunan ini adalah kediaman Letnan Tionghoa. Bangunan ini dibeli oleh sekelompok Rohaniawan Katolik Ordo yang terpaksa meninggalkan Tiongkok setelah jatuh ke tangan Partai Komunis. Bangunan ini masih terpelihara dengan baik sampai saat ini tanpa menghilangkan keasliannya. Masih terdapat inskripsi dalam aksara Tionghoa di bubungan atap, diantaranya menyebutkan daerah asal pemilik, tulisan aksara dengan arti rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman. Banyak masyarakat yang tinggal di sekitar adalah keturunan Tionghoa tetapi tidak pandai bahasa leluhurnya, sehingga pihak gereja berinisiatif mengadakan kursus bahasa bagi penerus generasi Tionghoa di daerah ini.

Setelah dari Gereja Santa De Fatima, kami melanjutkan perjalanan ke Kelenteng Kim Tek Ie (Dharma Bakti/Jin De Juan) yang merupakan kelenteng tertua di Jakarta. Kelenteng ini dibangun oleh Letnan Tionghoa Kwee Hoen dan diberi nama Koan–im Teng atau Paviliun Koam-im. Kelenteng ini dulu ikut dihancurkan pada peristiwa Chinnezenmoord atau pembantaian oran Tionghoa. Hanya sebuah meja sembahyang yang masih tersisa dari peristiwa tersebut. Kelenteng ini di namai Kim Tek Ie oleh Kapitein der Chineezen Oeij Tjhie. Kelenteng mengalami dua kali pemugaran, pada pemugaran kedua tahun 1890 atap kelenteng yang terdiri dari tiga petak diubah menjadi tiga petak menyambung menjadi satu, sebagaimana ditulis di prasasti didinding kiri dan kanan bangunan utama kelenteng.

Selesai di kelenteng Kim Tek Ie, kami keluar menyusuri pasar ke arah Pancoran. Berdesak-desakan dengan pembeli di dalam pasar. Glodok mendapat julukan China Town atau Pecinan, salah satu kampung tua di Jakarta. Semasa VOC, Glodok merupakan kawasan di luar tembok kota. Awalnya sebelum dibangun Batavia orang Tionghoa sudah bermukim ditepi Pantai tidak jauh dari Bandar Sunda Kelapa, tapi ketika Belanda membangun loji disini mereka pun diusir. Paska peristiwa Chineezenmoord mereka ditempatkan dikawasan ini yang sekarang bernama Glodok. Kata Glodok, konon katanya berasal dari bunyi air pancuran di sekitar Pancoran yang berbunyi grojok-grojok. Sepanjang jalan di Glodok kita dapat mencium bau Hio atau dupa. Kini kawasan Glodok lebih dikenal dengan pusat perdagangan retail elektronik. Tetapi bukan hanya sekedar kawasan Pecinan, kawasan ini juga mempunyai sejarah perjuangan kaum imigran, keterpurukan, kejayaan dan perlawanan terhadap nasib serta penindasan.

Dari pasar Glodok, kami menyusuri trotoar di Jl. Pintu Besar Selatan menuju destinasi terakhir kami, yaitu Museum Bank Mandiri. Disepanjang jalan menuju Museum adalah kanal yang digali oleh VOC sekaligus jalan menuju gerbang Kota Batavia. Tapi sekarang gerbang tersebut tidak ada lagi hiksss. Gedung Museum Bank Mandiri dibangun tahun 1929, terletak di depan halte busway Stasiun Kota. Gedung awalnya adalah untuk perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan dibidang perbankan. Gedung ini adalah asset dari Bank Mandiri.
Terletak tepat di sebelah utara Tidak jauh dari Museum Bank Mandiri terdapat Museum Bank Indonesia. Dulunya merupakan sebuah Rumah Sakit lalu di gunakan menjadi bank yaitu De Javasche Bank, bangunan ini pertama dibangun tahun 1828. Setelah kemerdekaan Bank ini di Nasionalisasikan menjadi Bank Indonesia. Tapi gedung ini tidak lama dipakai karena pindah ke gedung baru. Pada akhirnya gedung ini dimanfaatkan sebagai museum untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai peran BI dalam perjalanan sejarah bangsa, termasuk memberikan pemahaman tentang latar belakang serta dampak dari kebijakan-kebijakan BI yang diambil dari waktu ke waktu secara objektif. 

Selain itu masih ada satu cagar budaya yang tak kalah penting yakni Stasiun Jakarta Kota yang dibangun sekitar tahun 1870 dan selesai direnovasi tahun 1929. Semua cagar budaya itu nantinya akan masuk dalam proyek Revitalisasi Kota Tua Jakarta. Horayyyy..


Setelah tour singkat di Museum Bank Mandiri, kami menuju aula besarnya untuk istirahat sejenak meluruskan kaki yang sudah mati rasa heheheeee. Disini udah ada group satu yang datang lebih dahulu. Setelah rehat sejenak saya mengambil makan siang yang sudah disediakan yaitu Nasi Ulam Misjaya. So Yummmii … Mau nambah lagi tapi malu hahahaaa.. Setelah semua kelompok berkumpul dan menyantap makan siang, kami disuguhui video Batavia jaman dulu. Lalu mendengarkan penuturan singkat dari Kang Asep Kambali tentang sejarah dan kenapa perlu mencintai sejarah. Acara diakhiri dengan foto bersama dengan seluruh peserta.

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengambil quote dari kang Asep Kambali:

“UNTUK MENGHANCURKAN SUATU BANGSA, 
HANCURKANLAH INGATAN (SEJARAH) GENERASI MUDANYA”

Sampai jumpa di tour-tour yang akan saya ikuti lagi… Let’s Make History… bye byee…

.

2 komentar: